PURWA WACANA

Om Swastiastu,

Desa Pakraman Pedungan memiliki pengurus yang telah di pilih pada Sabtu, 26 Maret 2011 Dengan susunan pengurus sebagai berikut: Bendesa : Drs. I Nyoman Sumantra; Penyarikan: I Nyoman Subaga; Patengen : Drs. I Gusti Putu Loka, Patajuh Parhyangan : I Nyoman Jiwa Pande, S.Sos; Patajuh Pawongan : I Made Badra; Patajuh Palemahan : Ir. I Ketut Adhimastra, M.Erg; Kasinoman: I Made Suardana, SE

Om Santhi, santhi, santhi Om


Senin, 08 Agustus 2011

Bendung Urban dengan Penguatan Awig-awig Desa Pakraman

Saat ini tingkat kepadatan penduduk Kota Denpasar mencapai 6.170 jiwa per kilometer persegi. Jumlah yang cukup luar biasa. Begitu derasnya arus migran ke Kota Denpasar, hingga desa pakraman didominasi oleh penduduk pendatang. Sebelum Bali tenggelam oleh ledakan pendatang yang tak terbendung, harus segera dicarikan solusinya, misalnya dengan menguatkan awig-awig desa. Demikian terungkap dalam acara Warung Global yang disiarkan Radio Global 96,5 FM, Senin (8/8) kemarin dengan topik, ''Penguatan Desa Pakraman''.



Pande di Pandak Gede berpendapat secara yuridis, desa pakraman disemangati oleh nilai agama Hindu yang secara esesial memformat desa pakraman untuk mampu merangkul krama untuk hidup berdampingan secara damai. Secara de facto, kondisi itu tidak bisa terwujud karena mereka yang datang tanpa identitas yang jelas dengan membeludak, sehingga proses adaptasi tidak bisa berjalan dengan baik seperti format yang direncanakan.

''Implikasinya adalah terjadi pembauran yang dipaksakan dan akhirnya memunculkan budaya baru yaitu budaya semi Barbarian,'' katanya. Fakta inilah yang terjadi saat ini yang membebani desa pakraman. Lebih jauh dia mengatakan kondisi ini sangat sulit dihadapi. Ibarat tanggul keropos yang hantam air bah sehingga tanggulnya jebol dan menghantam pemukiman di bawahnya, hingga tergerus banjir bandang. Penguatan desa pakraman akan terjadi apabila krama yang ada di dalamnya dengan segala tingkatan akan menjadi konsisten dengan ajaran agama melalui pemahaman yang harus banyak belajar tentang kesejatian diri. Jika tidak semua berpikiran tendensius, pragmatis dan materialistis justru yang akan terjadi adalah sebaliknya.

Menurut Yasa di Bukit, untuk penguatan desa pakraman mestinya ada beberapa faktor yang harus disepakati bersama yaitu, tetap melakukan sistem gotong royong, sebagai orang Hindu harus saling menghormati adat istiadat desa lain dan selalu melakukan pembinaan terhadap pemahaman agama. Jika itu sudah berjalan maka diharapkan hal tersebut dapat membendung membeludaknya penduduk pendatang. Tinggal Apakah mereka mampu beradaptasi atau tidak.

Dari sejarah yang dialami Jodog di Denpasar, desa pakraman di Denpasar bukan saja didatangi warga luar Bali, juga dari Bali sendiri. Mereka datang memadati desa adat. Sebagai sesama warga Bali mereka diterima dengan sejajar sehingga keberadaan mereka melebihi warga wed (warga asli). Lama- kelamaan penduduk asli menjadi tersingkirkan. Barulah akhirnya dibuatkan aturan. Siapapun boleh datang, namun dibatasi oleh aturan-aturan. Warga wed memiliki hak suara penuh.

Jika sekarang aturan desa pakraman dikuatkan dasarnya apa? Karena berpatokan kepada NKRI penduduk Indonesia boleh tinggal di mana saja dan dilindungi undang-undang. Maka akhirnya muncul klian adat dan klian dinas. Warga banjar adat memiliki hak penuh terhadap aset dan warisan banjar, seperti bale banjar, sedangkan warga pendatang hanya dalam kedinasan saja.

Menurut Gede Biasa di Denpasar, desa pakraman di Bali sebenarnya sudah memilki konsep untuk ketahanan desa pakraman yang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat, ketika bentrok dengan desa lain, atau berebut aset desa mereka dengan kompak akan membela desanya. Seperti dalam kasus tapal batas dan bentrok masal antarbanjar. Sayang hal itu hanya bersifat ke dalam. Belum memiliki konsep keluar. Secara indvidu juga perlu pemahaman penguatan mental sehingga mereka tidak mudah terbawa dan menerima arus dari luar. (kmb)

sumber: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=54831

Tidak ada komentar:

Posting Komentar